Thursday, September 17, 2015

FIQIH : ILMU FARAIDH 2

FARAIDH (PERBEDAAN WARISAN DAN WASIAT) 


l) Cucu perempuan dari anak laki-laki, terhijab oleh:
1.     Anak laki-laki
2.    Dua anak perempuan atau lebih jika tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki

     m)  Nenek dari pihak bapak terhijab oleh bapak

     n)  Nenek dari pihak ibu terhijab oleh ibu

     o)   Saudara perempuan sekandung, terhijab oleh:
1.     Anak laki-laki
2.    Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3.    Bapak

p)Saudara perempuan sebapak, terhijab oleh:
1.     Anak laki-laki
2.    Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3.    Bapak
4.    Saudara perempuan kandung dua orang atau lebih, jika tidak ada saudara laki-laki sebapak
5.    Seorang saudara perempuan bersama anak/cucu perempuan (dari anak laki-laki).

q)  Saudara perempuan seibu, terhijab oleh:
1.     Anak laki-laki
2.    Anak perempuan
3.    Cucu laki-laki dari anak laki-laki
4.    Cucu perempuan dari anak laki-laki
5.    Bapak
6.    Kakek dari pihak bapak

a.  Hikmah Hijab
Sesungguhnya dibalik adanya hijab ada beberapa hikmah yang didapat, diantaranya adalah:
a)    Memberikan keadilan dalam pembagian warisan yang merujuk kepada skala prioritas karena ada yang lebih berhak dari yang berhak.
b)   Sebagai solusi pembagian yang efektif.
c)    Menghindarkan dari ketegangan dalam pembagian warisan.


C. Dzawil Furudh & Ashabah
a. Defenisi
Dzawil Furudh artinya mempunyai bagian tertentu. Sedangkan Ashabahmenurut bahasa adalah “pembela atau penolong”, sedangkan menurut istilah syar’i adalah ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya dengan kadar tertentu.


b. Ahli Waris Hanya sebagai Dzawil Furudh
Mereka adalah:
a)    Suami
b)   Istri
c)    Saudara laki-laki seibu
d)   Saudara perempuan seibu
e)   Ibu
f)    Nenek dari pihak bapak
g)   Nenek dari pihak ibu

c.   Ahli Waris Hanya sebagai Ashabah
Mereka yang regolong pada kelompok ini adalah:
a)    Anak laki-laki
b)   Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c)    Saudara laki-laki sekandung
d)   Saudara laki-laki sebapak
e)   Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
f)    Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
g)   Paman sekandung
h)   Paman sebapak
i)     Anak laki-laki paman sekandung
j)    Anak laki-laki paman sebapak


d.  Ahli Waris Terkadang sebagai Dzawil Furudh dan Ashabah
a)    Anak  perempuan
b)   Cucu perempuan dari anak laki-laki
c)    Saudara perempuan kandung

d)   Saudara perempuan sebapak

a.  Ahli Waris Terkadang sebagai Dzawil Furudh dan Ashabah serta keduanya
a)    Bapak
b)  Kakek dari pihak bapak

b.  Macam-Macam Ashabah
Macam-macam ashabah ada 3, yaitu:
a)    Ashabah binafsihi, yaitu menerima sisa harta karena dirinya sendiri. Mereka adalah semua ahli waris laki-laki kecuali saudara laki-laki seibu. Rasulullah SAW bersabda:




Artinya:
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: ”Berikanlah ketentuan-ketentuan warisan itu kepada yang berhak, kemudian sisanya untuk ahli waris laki-laki yang lebih dekat”. (HR. Mutafaq ’alaih)

Contoh, ahli waris adalah seorang anak laki-laki, ayah, ibu dan suami.

-          Ayah mendapat 1/6 = 2/12
-        Ibu mendapat 1/6= 2/12
-        Suami mendapat ¼= 3/12
-        Total = 7 /12
-        Untuk anak laki-laki= 12/12 – 7/12 = 5/12

b)   Ashabah bil ghairi, yaitu ahli waris yang menerima sisa harta karena bersamanya dengan ahli waris laki-laki yang setingkat dengannya. Mereka adalah ahli waris perempuan yang bersamanya ahli waris laki-laki, yaitu:
1.     Anak perempuan, jika bersamanya anak laki-laki
2.     Cucu perempuan jika bersamanya cucu laki-laki
3.     Saudara perempuan kandung, jika bersamanya saudara laki-laki kandung.
4.     Saudara perempuan sebapak, jika bersamanya saudara laki-laki sebapak.

Contoh, ahli waris adalah anak anak laki-laki, anak perempuan, ibu, suami, dan ayah. Bagian masing-masingnya adalah:
-          Ibu mendapat 1/6 = 2/12
-          Ayah mendapat 1/6 = 2/12
-          Suami mendapat ¼ = 3/12
-          Jumlah = 7/12
-          Sisanya yaitu 12/12-7/12 = 5/12 untuk anak laki-laki dan perempuan;
-          Untuk anak laki-laki= 2/3x 5/12 = 10/36
-          Untuk anak perempuan 1/3 x 5/12 = 5/36

c)    Ashabah ma’al ghair, yaitu menjadi ashabah karena bersama-sama dengan ahli waris lain. Orang yang menjadi ashabah ma’al ghair itu sebenarnya bukan ashabah, tetapi karena bersamanya ada ahli waris yang juga bukan ashabah, ia dinyatakan sebagai ashabah sedangkan orang yang menyebabkan menjadi ashabah itu tetap bukan sebagai ashabah.

Ashabah ma’al ghair khusus berlaku untuk saudara perempuan kandung atau seayah pada saat bersamanya ada anak perempuan atau cucu perempuan. Anak perempuan/cucu perempuan  tersebut menjadi ahli waris furudh sedangkan saudara perempuan menjadi ashabah. Kasus ini timbul pada saat seseorang meminta fatwa kepada Ibnu Mas’ud tentang ahli waris yang terdiri dari anak perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan. Ibnu Mas’ud memutuskan berdasarkan apa yang dilihatnya dari Nabi SAW yang menyelesaikan kasus yang sama, yakni:
§  Anak perempuan = ½ bagian
§  Cucu perempuan = 1/6
§  Dan sisanya untuk saudara perempuan.

Hukum ini diikuti oleh jumhur ulama, tetapi ulama Zhahiri tidak beramal pada riwayat Ibnu Mas’ud tersebut sehingga tidak ada baginya ashabah ma’al ghair.



 D. Pelaksanaan Pembagian Warisan
*. Al-aul
Al-aul artinya bertambah. Dalam ilmu faraidh, aul artinya bagian yang harus diterima ahli waris lebih banyak dari asal masalahnya, sehingga asal masalahnya harus ditambah/ diubah.

Contoh:

Suami                               =   ½ x 6 = 3
2 saudar (pr) kandung      = 2/3 x 6 = 4
Jumlah bagian                  =                 7
Asal masalah 6 sedangkan jumlah bagian 7. Agar sebanding, maka asal masalah harus dinaikkan menjadi 7, sehingga penyelesaiannya:
Suami                                   = 3/7 x harta warisan = ........
2 saudara (pr) kandunga       = 4/7 x harta warisan = ........                                                             


*.  Ar-Radd (ar-raddu)
Ar-Radd yaitu ”mengembalikan”. menurut istilah Faraidh adalah ”membagi sisa harta warisan kepada ahli waris menurut pembagian masing-masing setelah menerima bagiannya.”

Ar-Radd dilakukan karena setelah harta diperhitungkan untuk ahli waris, ternyata masih ada sisa harta. Sedangkan ahli waris tidak ada ashabah. Maka sisa harta dikembalikan kepada ahli waris yang ada.
 contoh :

-          Anak perempuan         =   ½x 6 = 3
-          Ibu                                      = 1/6 x 6 = 1
-          Jumlah                                 =                4
-          Asal masalah (KPT) : 6, sedangkan jumlah bagian 4. Maka penyelesaiannya adalah:
-          Anak perempuan         = ¾ x harta warisan = .......
-          Ibu                              = ¼ x harta warisan = .......

Jika jumlah Harta peninggalan: Rp. 45.000.000

Istri                                               ¼ x 12 = 3
Ibu                                                1/6 x 12 = 2
2 saudara (pr) kandung                 2/3 x 12 = 8
Seorang saudara (pr) seibu           1/6 x 12 = 2
Jumlah bagian                                               15
Asal masalahnya: 12, sedangkan jumlah bagian 15. maka penyelesaiannya adalah:
Istri                3/15 x 45.000.000 =   9.000.000
Ibu                                                 2/15 x 45.000.000 =   6.000.000
2 saudara (pr) kandung                 8/15 x 45.000.000 = 24.000.000
Seorang saudara (pr) seibu          2/15 x 45.000.000 =   6.000.000
Jumlah bagian                                                             = 45.000.000

*.  Gharawain
Yang dimaksud dengan gharawain adalah dua yang terang, yaitu dua masalah yang terang cara penyelesaiannya. Dua masalah tersebut adalah:
a)   jika ahli warisnya suami, ibu dan bapak.
b)  jika ahli warisnya istri, ibu, dan bapak

Contoh gharawain:
Jumlah harta peninggalan: Rp. 30.000.000.
Suami               :  ½ x 30.000.000 = 15.000.000,-
Sisa            :  Rp. 15.000.000,-
Ibu                   :  1/3 x 15.000.000  = 5.000.000
Bapak ashabah :   10.000.000,-

*. Musyarakah
Yang dikatakan dengan musyarakah adalah diserikatkan, yaitu ahli waris yang dalam perhitungan mawaris semestinya memperoleh warisan, tetapi tidak memperolehnya, maka disyarikatkan kepada ahli waris yang memperoleh bagian. Ini hanya akan terjadi jika ahli waris terdiri dari:

Jumlah harta peninggalan: Rp. 30.000.000.
Suami               :  ½ x 30.000.000 = 15.000.000,-
Sisa            :  Rp. 15.000.000,-
Ibu                   :  1/3 x 15.000.000  = 5.000.000
Bapak ashabah :   10.000.000,-

*.  Akdariyah
Akdariyah adalah mengeruhkan atau menyusahkan, yaitu kakek menyusahkan saudara perempuan dalam pembagian warisan. Ini terjadi jika ahli waris terdiri: suami, ibu, saudara perempuan kandung/ sebapak, dan kakek.

Contohnya:
Suami ½ = 3/6 = 3
Ibu  1/3 = 2/6 = 2
Sdr pr ½ = 3/6 = 3
Kakek = 1/6 = 1/6 =1
Asal masalah 6 dan dapat diselesaikan dengan aul= 9


Menurut:
a)    Abu Bakar ra. Sdr Pr terhijan Hirman, sedangkan kakek menjadi ashabah.
b)   Umar bin Khatab dan ibnu Mas’ud, bagian ibu dikurangi dari  1/3 menjadi 1/6, sehingga ada kesamaan dengan kakek.
c)    Zaid bin Tsabit, adalah dengan menghimpun bagian sdr perempuan bersama kakek kemudian dibagi dengan ketentuan prinsip bahwa laki-laki 2 bagian lebih besar dari perempuan (2:1).

a.  Bagian Anak dalam Kandungan
Beberapa masalah yang muncul seputar kasus anak yang masih dalam kandungan ibunya, ialah:
a)    Apakah janin dalam kandungan ada hubungan kekerabatan yang sah dengan yang meninggal. Karenanya dibutuhkan tenggang waktu untuk bisa memastikannya dengan cara menghitung masa/usia kandungan dengan waktu akad nikah. Jika hitungan waktunya lebih tua usia kandungan daripada usia pernikahan, maka sang bayi tidak berhak memperoleh warisan.
b)   Belum bisa dipastikan jenis kelamin dan jumlah bayi yang dikandung.
c)    Belum bisa dipastikan apakah bayi yang akan dilahirkan dalam hidup/ selamat atau mati.

Jika warisan dibagikan akan ada kungkinan permasalahan yang terjadi. Misalnya ada yang terhijab nuqshan maupun hirman, atau melebihi dari apa yang diperkirakan jika bayi meninggal.

Bayi yang lahir dengan selamat memiliki hak waris dari ayahnya yang meninggal. Rasulullah SAW bersabda:


Artinya:
Jika anak yang dilahirkan berteriak, maka ia diberi warisan”. (HR. Ashab Al-Sunan).


Artinya:
”Bayi dalam kandungan tidak berhak mewarisi sehingga berteriak (HR. Ahmad).

Solusi yang dapat dilakukan adalah:
a)    Para ahli waris mengambil bagian dengan jumlah paling minimal dari kemungkinan yang bisa terjadi. Kecuali bagi ahli waris yang terhijam hirman karena kelahiran bayi tersebut.
b)   Apabila harta masih dapat dijaga dan pembagian warisan tersebut belum mendesak, maka pembagiannya ditunda hingga bayi lahir.

b.  Bagian Banci
Banci atau khuntsa adalah orang yang jenis kelaminnya meragukan, apakah laki-laki atau perempuan. Dalam bahsan ini ada beberapa jenis banci, yaitu:
a)    Orang yang memiliki alat kelamin ganda, yaitu laki-laki  dan perempuan.
b)   Orang yang sama sekali tidak memiliki alat kelamin, tetapi hanya memiliki lubang kencing.
c)    Orang yang berperangai laki-laki padahal jenis kelamin perempuan.
d)   Orang yang berperangai perempuan padahal jenis kelamin laki-laki.

Penentuan warisan bagi banci, adalah dengan memperhatikan terlebih dahulu jenis golongannya, yaitu:
a)    Khuntsa wadhih, yaitu khuntsa yang sudah jelas kelaminnya laki-laki maupun perempuan.
b)   Khuntsa musykil, yaitu khuntsa yang belum ditetapkan sebagai laki-laki maupun perempuan.
       
Pembagian warisan pada khuntsa wadhih tidak ada masalah, karena sudah jelas dihukumkan laki-laki atau perempuan. Sedangkan untuk khuntsa musykil, terdapat perbedaan pendapat, antara lain:
a)    Menurut Abu Hanifah, Abu yusuf dan Kuhw mesir, adalah
memberikan bagian terkecil dari dua perkiraan laki-laki atau perempuan. Sisanya diberikan kepada ahli waris yang lain.

b)   Menurut Syafi’iyah, Abu Daud, Abu Tsur dan Ibnu Jaiz, adalah
memberikan bagian terkecil kepada semua ahli waris, termasuk khuntsa. Sisanya dimauqufkan sampai ada kejelasan lebih lanjut atau diserahkan pada hasil kesepakatan keluarga.

c)    Mazhab Maliki, Syiah Zaidiyah dan imamiyah berpendapat, yaitu
dengan memberikan bagian khuntsa separuh dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan.

c.   Bagian Orang Hilang
Yang dikatakan hilang di sini adalah orang yan tidak diketahui lagi keberadaannya dalam jangka waktu yang relatif lama. Tidak diketahui beritanya, mengenai tempat tinggalnya, dan keadaannya (hidup atau meninggal).

Orang yang hilang tersebut sebagai muwarits maupun ahli waris, maka pembagiannya dapat dilakukan dengan cara berikut:
Jika kedudukannya sebagai muwarits.
a)    Harta yang ia miliki sebaiknya ditahan/disimpan terlebih dahulu sampai              didapatkan kepastian keberadaan maupun keadaannya.
b)   Ditunggu hingga batas usia manusia pada umumnya.
c)    Menurut Abdul Hakam, ditunggu sampai batas usia lebih kurang 70 tahun.

     Jika kedudukannya sebagai ahli waris, maka harta warisan dibagikan, dan bagi dirinya diberikan bagiannya  sebagaimana mestinya. Apabila ia masih hidup dan  datang kembali, maka bagiannya itu diserahkan kepadanya. Tapi, jika ternyata ia sudah meninggal, maka bagiannya tersebut diserahkan kepada ahli waris lain yang  berhak.




E. Wasiat


a. Defenisi
Wasiat Menurut bahasa adalah “pesan” , sedangkan dalam istilah syara’ artinya: pesan terhadap sesuatu yang baik, yang harus dilaksanakan atau dijalankan sesudah seseorang meninggal dunia.

b.Dasar Hukum
Dasar hukumnya adalah: QS. Al-Baqarah: 180
yang Artinya:
“diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[112], (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”


Memperhatikan dari segi cara dan obyek, maka hukum berwasiat dapat dijelaskan sebagai berikut:
a)     Wajib, jika berhubungan dengan hak Allah SWT, seperti zakat, fidyah, puasa, dan sebagainya yang merupakan hutang yang wajib dibayarkan.
Beberapa ulama seperti Qatadah, Ibnu Hazm, Taus, Ibnu Musayyab, Ishaq bin Rahawaih berpendapat bahwa wasiat hukumnya wajib. Sebagaimana perintah-Nya dalam QS. Al-Baqarah: 180, terutama bagi kerabat dekat yang tidak memperoleh warisan.
b)  Sunnah, apabila berwasiat kepada selain kerbat dekat dengan       tujuan kemaslahatan dan mengharapkan ridha Allah SWT. Pendapat ini dikuatkan oleh Jumhur Ulama termasuk Mazhab Maliiki dan Hambali.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ‏لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ‏‎‎يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا‎‎وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ
عِنْدَهُ
“Tidaklah seseorang mewasiatkan suatu hak untuk seorang muslim, lalu wasiatnya belum ditunaikan hingga dua malam, kecuali wasiatnya itu diwajibkan di sisinya.” (HR. Al-Bukhari no. 2738 dan Muslim no. 1627)




Maksud hadits tersebut adalah agar wasiat yang disampaikan secara lisan segera dicatat atau disaksikan di depan orang lain.

1.     Makruh, jika hartanya sedikit tetapi ahli warisnya banyak, sedangkan keadaan mereka sangat mmemerlukan harta warisan sebagai penunjang hidupnya, atau biaya untuk melanjutkan sekolahnya.

2.    Haram, apabila harta yang diwasiatkan untuk tujuan yang dilarang oleh agama. Misalnya mewasiatkan agar membangun tempat perjudian atau tempat maksiat.


a.  Rukun dan Syarat Wasiat
Rukun wasiat adalah:
a)    Mushi (pewasiat), syaratnya adalah:
1.     baligh
2.    berakal sehat
3.    atas kehendak sendiri

b)   Musha lahu (penerima wasiat)
1.     Orangnya benar-benar ada (walaupun tidak hadir saat diberi wasiat)
2.    Tidak menolak diberi wasiat.
3.    Bukan pembunuh pewasiat.
4.    Bukan ahli waris, kecuali atas persetujuan ahli waris lain.
Rasulullah bersabda:





Artinya:
Dari Abi Umamah Al-Bahili ra. Berkata: Aku mendengar Rasulullah saw.bersabda: ”Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada orang  yang punya hak, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris”. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)




Artinya:
”Tidak boleh berwasiat kepada orang yang menerima warisan kecuali ahli-ahli warisnya membolehkannya”. (HR. Daru-Quthni).

c)    Musha bihi( benda yang diwasiatkan), syaratnya adalah:
1.     jumlah wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan.
2.    Dapat berpindah milik dari seseorang kepada orang lain.
3.    Benda yang diwasiatkan ada pada saat diwasiatkan.
4.    Harus mengandung manfaat.
5.    Tidak bertentangan dengan hukum syara’. Misalnya: berwasiat agar membangun tempat maksiat.

d)   Sighat wasiat (ijab qabul), syaratnya adalah:
1.     kalimat yang digunakan harus bisa dipahami atau dimengerti, baik dengan lisan maupun tulisan.
2.    Penerimaan wasiat diucapkan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.

b.  Permasalahan dalam Wasiat
Ada beberapa bentuk permasalahan yang seringkali dijumpai dalam wasiat. Diantaranya adalah masalah kadar wasiat, dan wasiat bagi orang yang tidak memiliki ahli waris.
a)   Kadar Wasiat
Jumlah terbanyak wasiat adalah 1/3 dari harta yang dipunyai oleh orang berwasiat setelah dikurangi jumlah hutang apabila ia berhutang. Artinya, pembagian wasiat baru bisa dilakukan setelah harta peninggalan si pewasiat telah dikeluarkan untuk pembayaran hutangnya. Misalnya si pewasiat meninggalkan harta sebesar Rp. 100.000.000, dan ia memiliki hutang Rp.50.000.000, maka Rp.100.000.000 – Rp. 50.000.000 = Rp. 50.000.000. Sehingga uang wasiat yang dikeluarkan adalah 1/3 dari Rp. 50.000.000 tersebut.

Rasulullah bersabda:



Artinya:
Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: ”Wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah banyak”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan berdasarkan hadits di atas, kebanyakan ulama menetapkan bahwa sebaiknya kadar wasiat tersebut kurang dari 1/3 bagian dari harta yang dimiliki, terutama sekali jika para ahli waris adalah mereka yang sangat membutuhkan harta warisan tersebut.

Ketika Sa’ad bin Abi Waqash sakit, ia bertanya kepada Nabi saw., ”Apakah aku boleh berwasiat dua pertiga atau setengah dari harta yang kumiliki?” Rasulullah menjawab:
 Artinya:
”Tidak”. Kemudian bertanya agi, ”(Bagaimana kalau)  sepertiga?” Nabi menjawab: ”(Ya) sepertiga. Sepertiga itu-pun sudah banyak. Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli waris dalam keadaan cukup itu lebih baik daripada engkau meninggalakan dalam keadaan papa dan harus meminta-minta kepada orang lain”. (HR. Bukhari dan Muslim).

b)  Wasiat bagi Orang yang Tidak Mempunyai Ahli Waris
Para ulama sepakat bahwa batas maksimal harta yang diwasiatkan adalah sepertiga bagian harta yang ditinggalkan muwarits. Jika ada lebih dari itu hendaklah atas persetujuan dan kesepakatan ahli waris dan tidak menimbulkan mudharat bagi ahli waris lainnya. Bahkan ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa wasiat itu tidak boleh lebih dari sepertiga dari harta yang dimiliki mushi, walaupun telah ada persetujuan dari ahli waris.

Sedangkan kadar wasiat bagi orang yang tidak memiliki ahli waris, para ulama berbeda pendapat, antara lain sebagai berikut:
1. Bagi orang yang tidak memiliki ahli waris tidak boleh berwasiat lebih dari sepertiga bagian dari harta yang dimilikinya. Karena beberapa hadits shahih nabi saw. tidak menjelaskan pengecualian kepada orang yang tidak mempunyai ahli waris.

2. Sementara sebagian berpendapat, seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu Ubadah, masruq dan diikuti oleh para ulama Hanafiah,  bahwa orang yang tidak memiliki ahli waris boleh melebihkan jumlah wasiatnya dari sepertiga hartanya. Karena hadits-hadits Nabi saw. yang menjelaskan tentang pembatasan jumlah (yaitu 1/3) disebabkan ada ahli waris lain yang ditinggalkan dalam keadaan membutuhkan.  Sehingga pembatasan jumlah tersebut   tidak berlaku pada kasus seseorang yang tidak memiliki ahli waris.

  Perbedaan Wasiat dengan Warisan

Perbedaannya antara lain adalah:
a)    Penerima wasiat tidak boleh ahli waris.
b)   Bagian wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 dari harta peninggalan setelah dikurangi hutang. Sedangkan ahli waris bisa melebihi 1/3 dari harta waris.
c)    Wasiat dibuat semasa pewaris masih hidup. Sedangkan warisan hanya bisa ditentukan pasca meninggalnya pewaris.

0 komentar:

Post a Comment