Thursday, September 17, 2015

FIQIH : ILMU FARAIDH 1

FARAIDH

A. Waris
  1. Defenisi
     Waris atau  Mawaris adalah bentuk jamak dari kata ”mirats” yang        artinya ”harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia”.
     Sedangkan dari segi istilah ialah:


     Artinya:
     ”Ilmu untuk mengetahui orang-orang yang berhak menerima warisan,    orang-orang yang tidak berhak menerimanya, bagian masing-masing ahli waris dan cara pembagiannya”.

     Atau :



     Artinya:
     ”Pengetahuan yang berkaitan dengan harta warisan dan perhitungan     kadar harta pusaka yang wajib diberikan kepada tiap orang yang      berhak”.

          Ilmu mawaris sering disebut dengan kata fara'id  (الفرائض) menurut bahasa merupakan bentuk jama' dari kata faridah (الفريضة). Kata ini berasal dari kata fardu (الفرض) yang mempunyai arti cukup banyak. Oleh para ulama, kata fara'id diartikan sebagai al-mafrudah(المفروضة) yang berarti al-muqaddarah (المقدّرة), bagian-bagian yang telah ditentukan. Dalam kontek kewarisan adalah bagian para ahli waris. Dengan demikian secara bahasa, apabila ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu fara'id karena yang dibahas adalah bagian para ahli waris, khususnya ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan.

     Disebut dengan ilmu mawaris, karena dalam ilmu dibicarakan tentang    berbagai hal yang berkaitaan dengan harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia. Sedangkan disebut dengan ilmu faraidh, karena dalam ilmu ini dibahas tentang bagian-bagian yang telah ditentukan      besarnya bagian bagi masing-masing ahli waris. Pada prinsifnya kedua   istilah ini sama-sama merupakan disiplin ilmu yang membicarakan        tentang segala sesuatu yang   berkenaan dengan tirkah (harta    peninggalan) orang yang meninggal dunia.


  1. Hukum Mempelajari Ilmu Faraidh
Begitu besar derajat Ilmu Faraidh bagi umat Islam sehingga oleh sebagian besar ulama dikatakan sebagai separoh Ilmu. Hal ini didasarkan kepada hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i dan Daru Quthni:
تَعَلَّمُوا القُرْانَ وَعَلَّمُوْهُ النَّاسَ, وَتَعَلَّمُوْا الفَرَائِضَ وَعَلَّمُوْهَا النَّاسَ, فَإنِّى امْرُؤٌ مَقْبُوْضٌ وَالعِلْمُ مَرْفُوْعٌ وَيُوشِكُ أَنْ يَخْتَلِفَ اثْنَانِ فِى الفَرِيْضَةِ فَلاَ يَجِدَانِ أَحَدًا يُخْبِرُهَا
“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang-orang, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah ilmu itu kepada orang-orang, karena aku adalah manusia yang akan direnggut (wafat), sesungguhnya ilmu itu akan dicabut dan akan timbul fitnah hingga kelak ada dua orang berselisihan mengenai pembagian warisan, namun tidak ada orang yang memutuskan perkara mereka”.
Berdasarkan pada hadits Rasulullah SAW. yang memerintahkan mempelajari ilmu mawaris, maka hukum mempelajarinya adalah wajib.      Pengertian wajib disini adalah wajib kifayah. Jika di suatu tempat       tertentu ada yang mempelajarinya, maka  sudah terpenuhi tunututan           Rasul. Tapi jika tidak ada yang mempelajarinya, maka semua orang        berdosa.



  1. Tujuan dan kedudukan ilmu Mawaris
     Secara umum tujuan mempelajarinya adalah:
a)    Agar dapat melaksanakan pembagian harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan syariat islam.
b)   Agar diketahui secara jelas siapa yang berhak menerima harta warisan dan diketahui bagian-bagiannya.
         c) Menentukan pembagian harta warisan secara adil dan benar,                 agar terhindar dari perselisihan antara ahli waris.


Kedudukan ilmu mawaris sangatlah penting dan dibutuhkan oleh        masyarakat muslim. Karena itu ilmu mawaris harus dapat dipahami, agar       dapat dilaksanakan dengan semestinya. Berkenaan ini rasul bersabda:

     ”Dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah SAW. bersabda: ”Hai Abu       Hurairah, pelajarilah faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain, karena          masalah ini adalah separuh ilmu, dan mudah dilupakan, serta ilmu itu        yang pertama-tama akan dicabut dari umatku”. (HR. Ibn Majah dan  Daruqutni).


  1. Dasar Hukum
Hukum kewarisan Islam bersumber pada Al-Quran dan Hadits Rasulullah saw.
     a) QS An-Nisa’ (7-11, 176); dan beberapa surat                     lainnya.
         Ayat di bawah ini menjelaskan tentang penghapusan bahwa penerima              warisan hanyalah kerabat laki-laki dan dewasa.
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ  نَصِيبًا مَفْرُوضًا  ﴿النساء:٧﴾
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”

وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا  ﴿النساء:٨﴾
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا  ﴿النساء:٩﴾
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا  وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا ﴿النساء:١۰﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ  لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ  فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ  وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ  وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ  فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ  فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ  مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ  آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا  فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ  إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا  ﴿النساء:١١﴾
“Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.Annisa : 7-11)

b). Hadits Nabi Muhammad saw.
     Dalam haditsnya Rasul juga menjelaskan:





Artinya:
”Dari Ibn Abbas ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda ”Bagilah harta   pusaka antara ahli-ahli waris menurut (ketentuan) kitab Allah”. (HR. Muslim & Abu Daud).

     Disamping itu, Ijma dan Ijtihad para ulama juga banyak berperan dalam         menyelesaikan berbagai masalah yang berkaitan dengan mawaris,        terutama dalam hal teknis.

  1. Azaz-azaz Hukum Kewarisan Islam
     Yang menjadi azaz-azaz hukum kewarisan Islam, yaitu:
a)    Azaz Ijbari, yaitu peralihan harta dari seseorang yang meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah swt. tanpa digantungkan kehendak pewaris atau ahli waris.
b)   Azaz Bilateral, yaitu seseorang menerima hak atau sebagian warisan dari kedua belah pihak, yaitu kerabat keturunan laki-laki dan perempuan.
c)    Azaz individual, yaitu harta warisan dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan. Artinya setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatkannya  tanpa terikat kepada ahli waris yang lain, karena bagian masing-masing ahli waris sudah ditentukan  (QS. An-Nisa: 7).
d)   Azaz keadilan berimbang, yaitu pembagian waris harus ada keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dan kewajiban yang  harus ditunaikan. Seperti laki-laki dan perempuan mendapat hak yang sebanding  dengan pekerjaan yang dipikul masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. (QS. Al-Baqarah: 233).
e)   Azaz akibat kematian, yaitu  sistem pewarisan itu ada jika  ada yang meninggal dunia, baik secara hakiki maupun secara hukmi.

  1. Rukun dan Syarat
     Menurut hukum kewarisan Islam, rukun kewarisan ada tiga, yaitu:
a)    Pewaris.
b)  Ahli waris.
c)   Harta warisan

           Syarat terjadinya kewarisan ada tiga, yaitu:
a)  Matinya pewaris, yaitu mati secara hakiki, mati hukmi (menurut putusan hakim, seperti mafqud), dan mati taqdiri (menurut dugaan, seseorang telah dinyatakan mati, seperti ikut perang atau kecelakaan pesawat terbang yang sebagian besar penumpangnya mati).
b)  Hidupnya ahli waris, dalam keadaan ini ahli waris jelas pada saat    matinya pewaris. Artinya ahli waris tersebut benar-benar hidup,   termasuk dalamkategori bayi yang masih dalam kandungan.
c)  Tidak adanya penghalang kewarisan, yakni antara pewaris dan ahli agama dan pembunuhan.

  1. Sebab-sebab dan Halangan Pewarisan
     Ada beberapa sebab terjadinya pewarisan, yaitu:
a)    Karena hubungan keluarga/nasab (nasabiayah)/nasab hakiki
b)   Karena hubungan perkawinan yang sah/ mushaharah, Jika statusnya cerai maka gugurlah saling mewarisi, kecuali masa iddah pada talak raj’i.
c)    Karena hubungan wala’ (memerdekakan hamba sahaya)/nasab hukmi.

    

     Artinya:
     ”Sesungguhnya hak wala’ itu untuk orang yang memerdekakan budak”. (Muttafaq ’alaih)
    
     Dalam hadits lain, Rasuullah SAW bersabda:
    


     Artinya:
     Hubungan orang yang memerdekakan hamba dengan hamba dengan hamba itu seperti hubungan turunan dengan turunan, tidak dijual dan tidak diberikan”. (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Hakim).

d)   Karena seagama. Faktor seagama dapat menyebabkan orang bisa saling mewarisi, jika pewaris meninggal dan tidak mempunyai ahli waris baik karena nasabiyah, wala’ ataupun perkawinan. Dalam hal ini harta warisan tersebut diserahkan ke baitul mal untuk kepentingan kaum muslimin (seagama).              

Rasul bersabda:



          Artinya:
”Saya menjadi ahli wali orang yang tidak mempunyai ahli waris. Aku membayar dendanya dan aku mewarisinya”. (HR. Abu Daud dan Ahmad).

Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasul menjadi ahli waris adalah bahwa Rasulullah itu menerima dan menyalurkannya kepada kaum muslimin atau digunakan untuk kemaslahatan umat.

  Sebab-sebab terhalangnya pewarisan adalah:
a)    Hamba sahaya, kecuali jika ia telah merdeka. Hamba sahaya tersebut tidak dapat mewarisi dari tuannya maupun orang tua kandungnya.
 a)    Pembunuh, terutama sekali pembunuh keluarganya sehingga ia tidak dapat menerima harta warisan dari orang yang dibunuhnya. Kategori pembunuhan yang dimaksudkan adalah pembunuhan yang dilakukan secara sengaja atau seperti disengaja.

Rasul bersabda:


Artinya:
”Yang membunuh tidak mewarisi dari yang dibunuhnya”. (HR. Al-Nasa’i)

Dalam hadits lain juga dijelaskan:





Artinya:
”Barang siapa yang membunuh seorang, maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun orang yang dibunuh tidak mempunyai ahli waris selain dirinya, dan jika yang terbunuh itu ayah atau naknya maka bagi pembamunuh tidak ada hak untuk mewarisi”. (HR. Ahmad)

c)   Murtad (keluar dari agama Islam)
d) Berlainan agama. Antara orang Islam dengan non Islam (kafir)        tidak ada hak saling mewaris, meskipun ada hubungan nasabiyah yang sangat dekat.

Rasulullah bersabda:





Artinya:
Dari Usamah bin Zaid, dari Nabi SAW bersabda: ”Tidak mewarisi orang Islam akan  orang kafir. Demikian pula orang kafir tidak pula mewarisi dari orang Islam”. (HR. Jamaah)

  1. Golongan Ahli Waris
    a)  Ahli Waris Laki-laki
Susunan ahli waris dari garis keturunan laki-laki, yaitu:
    1. Bapak
    2. kakek dan seterusnya
    3. Anak laki-laki
    4. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah
    5. Saudara laki-laki sekandung
    6. Saudara laki-laki seayah
    7. Saudara laki-laki seibu
    8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
    9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
    10. Paman sekandung (saudara laki-laki ayah sekandung)
    11. Paman seayah (saudara laki-laki seayah)
    12. Anak laki-laki paman sekandung
    13. Anak laki-laki paman seayah
    14. Suami
    15. Laki-laki yang memerdekakan hamba sahaya

b)  Ahli Waris Perempuan
Susunan ahli waris perempuan, terdiri dari:
    1. Ibu
    2. Nenek dari pihak ibu terus ke atas
    3. Nenek dari pihak ayah (tidak terus ke atas)
    4. Anak perempuan
    5. Cucu perempuan dari anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki
    6. Saudara perempuan sekandung
    7. Saudara perempuan seayah
    8. Saudara perempuan seibu
    9. Istri
    10. Perempuan yang memerdekakan hamba sahaya

Apabila semua ahli waris yang tersebut di atas (baik laki-laki maupun perempuan) maka yang berhak mewarisi adalah:
a)    Anak laki-laki
b)   Anak perempuan
c)    ayah
d)   ibu
e)   suami/istri

Golongan yang berhak menjadi ahli waris adalah:
a)    Zawil furudh adalah ahli waris yang menerima bagian tertentu sesuai dengan ketetapannya (muqaddarah) sehingga disebut dengan Furudh al-muqaddarah yaitu:
 1.   2/3 (dua pertiga)
-  Dua orang anak perempuan atau lebih apabila tidak ada anak laki-
laki
-  Dua orang cucu perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak ada
ahli waris:
·         Anak laki-laki
·         Anak perempuan
·         Cucu laki-laki dari anak laki-laki
·         Cucu perempuan dari anak laki-laki
·         Saudara laki-laki kandung
·         Bapak
·         Kakek dari pihak bapak

2.   ½ (setengah), ahli warisnya adalah:
-          Anak perempuan tunggal, apabila tidak ada anak laki-laki
-          Cucu perempuan tunggal, apabila tidak ada ahli waris:
·  Anak laki-laki
·  Cucu laki-laki dari anak laki-laki
·  Anak perempuan

-          Saudara perempuan kandung tunggal, apabila tidak ada ahli waris:
·      Anak laki-laki
·      Anak perempuan
·      Cucu laki-laki dari anak laki-laki
·      Cucu perempuan dari anak laki-laki
·      Bapak
·      Kakek dari pihak bapak

-          Saudara perempuan sebapak tunggal, apabila tidak ada ahli waris:
·      Anak laki-laki
·      Anak perempuan
·      Cucu laki-laki dari pihak laki-laki
·      Cucu perempuan dari pihak laki-laki
·      Saudara laki-laki kandung
·      Saudara laki-laki sebapak
·      Saudara perempuan kandung
·      Bapak
·      Kakek dari pihak bapak

-          Suami, apabila tidak ada ahli waris:
·      Anak laki-laki
·      Anak perempuan
·      Cucu laki-laki dari anak laki-laki
·      Cucu perempuan dari anak laki-laki

3.     1/3 (sepertiga), ahli warisnya adalah:
-            Ibu, apabila tidak ada ahli waris:
·       Anak laki-laki
·      Anak perempuan
·      Cucu laki-laki dari anak laki-laki
·      Cucu perempuan dari anak laki-laki
·      Dua orang saudara atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan, baik sekandung, sebapak atau seibu.

-        Dua orang saudara atau lebih, baik laki-laki maupun perempuanapabila tidak ada ahli waris:
·         Anak laki-laki
·         Anak perempuan
·         Cucu laki-laki dari anak laki-laki
·         Cucu perempuan dari anak laki-laki
·         Bapak
·         Kakek dari pihak bapak

4    ¼ (seperempat), ahli warisnya adalah:
-          suami, apabila ahli warisnya:
·         Anak laki-laki
·         Anak perempuan
·         Cucu laki-laki dari anak laki-laki
·         Cucu perempuan dari anak laki-laki

-          Istri, apabila tidak ada ahli waris:
·         Anak laki-laki
·         Anak perempuan
·         Cucu laki-laki dari anak laki-laki
·         Cucu perempuan dari anak laki-laki

 5.   1/6 (seperenam), ahli warisnya ialah:
-          Bapak, apabila ada ahli waris:
·         Anak laki-laki
·         Anak perempuan
·         Cucu laki-laki dari anak laki-laki
·         Cucu perempuan dari anak laki-laki

-          Ibu, apabila ada ahli waris:
·         Anak laki-laki
·         Anak perempuan
·         Cucu laki-laki dari anak laki-laki
·         Cucu perempuan dari anak laki-laki

-          Nenek,  baik dari pihak ibu atau bapak, apabila tidak ada ahli   waris:
·       Ibu
·       Bapak (khusus nenek dari pihak bapak)

-          Cucu perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak ada ahli         waris:
·       Anak laki-laki
·      Cucu laki-laki dari anak laki-laki
·      Anak perempuan lebih dari satu orang, artinya jika hanya ada satu oran anak perempuan kandung, maka cucu perempuan memperoleh bagian seperenam.

-            Saudara perempuan sebapak seorang atau lebih, dengan syarat bersamanya ada seorang saudara perempuan sekandung      Itupun dengan syarat apabila tidak ada ahli waris:
·  Anak laki-laki
· Anak perempuan
· Cucu laki-laki dari anak laki-laki
· Cucu perempuan dari anak laki-laki
· Saudara laki-laki sekandung
· Saaudara laki-laki sebapak

-          Saudara seibu tunggal, baik laki-laki maupun perempuan,  apabila tidak ada ahli waris:
·       Anak laki-laki
·      Anak perempuan
·      Cucu laki-laki dari anak laki-laki
·      Cucu perempuan dari anak laki-laki
·      Bapak
·      Kakek dari pihak bapak

6.   1/8 (seperdelapan), ahli waris yang memperoleh 1/8 adalah istri
apabila tidak ada ahli waris:
·         Anak laki-laki
·         Anak perempuan
·         Cucu laki-laki dari anak laki-laki
·         Cucu perempuan dari anak laki-laki


Sedangkan Zawil arham yaitu keluarga yang hubungan keluarganya jauh, dan mereka tidak termasuk ahli waris. Namun kelompok zawil arham baru mendapat waris, jika tidak ada ahlul ‘ashabah dan tidak ada zawil furudh kecuali suami dan istri.

B. Hijab
a.  Defenisi
     Menurut bahasa, hijab atau al-hajbu artinya penutup atau penghalang.           Maksudnya adalah penutup/penghalang ahli warisnya yang semestinya      mendapat bagian menjadi tidak mendapat bagian  atau terkurangi   jumlah yang diterima, disebabkan ada ahli waris yang lebih dekat      pertalian kekerabatannya.

a.  Macam-macam Hijab
     Ada beberapa macam hijab dalam pembagian warisan, yaitu:
a)    Hajbu bil-wasfi, yaitu seseorang terhalang dari menerima warisan karena dirinya sendiri, seperti membunuh pewarisnya, atau berbeda agama.
b)   hajbu bisy-syakhsi, yaitu terhalangnya seseorang dari menerima warisan, baik seluruh maupun sebagian karena adanya orang lain. Hijab ini terbagi dua:
1.     Hijab nuqshan: penghalang yang dapat mengurangi bagian yang seharusnya diterima ahli waris.
2.    Hijab hirman: penghalang yang menyebabkan ahli waris tidak mendapatkan warisan sama sekali karena ada ahli waris yang lebih dekat.
Mereka yang tidak terhijab adalah: anak laki-laki dan anak perempuan dari yang meninggal.

No
Ahli Waris
Bagian
Terkurangi
Menjadi
1
2
3
4
5
6
7

8

9
10
Ibu
Ibu
Bapak
Bapak
Istri
Suami
Sdr. Pr sekandung
Atau seayah
2 sdr. Pr sekandung
Atau seayah
Cucu Pr garis laki2
Sdr. Pr seayah

½
1/3
Asabah
Asabah
¼
½
½

2/3

½
½


Anak/cucu
2 sdr/lebih
Anak laki2
Anak Pr
Anak / cucu
Anak / cucu
Anak/cucu Pr

Anak/cucu Pr

Seorang anak pr.
Seorang anak Pr.

1/6
1/6
1/6
1/6+asabah
1/8
¼
Asabah ma’al ghair
Asabah Ma’al ghair
1/6
1/6



a.  Orang-orang yang terhijab Hirman:
a) Cucu laki-laki terhijab oleh anak laki-laki
b) Kakek dari bapak terhijab oleh bapak
c) Saudara laki-laki sekandung terhijab oleh:
1.     Anak laki-laki
2.    Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3.    Bapak

d) Saudara laki-laki sebapak, terhijab oleh:
1.     Anak laki-laki
2.    Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3.    Bapak
4.    Saudara laki-laki sekandung
5.    Saudara perempuan sekandung bersama dengan anak/cucu perempuan

     e) Saudara laki-laki seibu, terhijab oleh:
1.     Anak laki-laki
2.    Anak perempuan
3.    Cucu laki-laki dari anak laki-laki
4.    Cucu perempuan dari anak laki-laki
5.    Bapak
6.    Kakek dari pihak bapak

     f) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung (keponakan) terhijab                    oleh:
1.     Anak laki-laki
2.    Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3.    Bapak
4.    Kakek dari pihak bapak
5.    Saudara laki-laki kandung
6.    Saudara laki-laki sebapak
7.    Saudara perempuan sekandung atau sebapak bersama anak/cucu perempuan

     g)  Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, terhijab oleh:
1.     Anak laki-laki
2.    Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3.    Bapak
4.    Kakek dari pihak bapak
5.    Saudara laki-laki kandung
6.    Saudara laki-laki sebapak
7.    Saudara perempuan sekandung atau sebapak bersama anak/cucu perempuan (dari anak laki-laki)
8.    Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

     h) Paman sekandung (saudara laki-laki bapak sekandung) terhijab oleh:
1.     Anak laki-laki
2.    Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3.    Bapak
4.    Kakek dari pihak bapak
5.    Saudara laki-laki kandung
6.    Saudara laki-laki sebapak
7.    Saudara perempuan sekandung atau sebapak bersama anak/cucu perempuan (dari anak laki-laki)
8.    Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
9.    Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak

i) Paman sebapak (saudara laki-laki bapak sebapak) terhijab oleh:
1.     Anak laki-laki
2.    Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3.    Bapak
4.    Kakek dari pihak bapak
5.    Saudara laki-laki kandung
6.    Saudara laki-laki sebapak
7.    Saudara perempuan sekandung atau sebapak bersama anak/cucu perempuan (dari anak laki-laki)
8.    Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
9.    Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
10. Paman sekandung

     j) Anak laki-laki dari paman sekandung, terhijab oleh:
1.     Anak laki-laki
2.    Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3.    Bapak
4.    Kakek dari pihak bapak
5.    Saudara laki-laki kandung
6.    Saudara laki-laki sebapak
7.    Saudara perempuan sekandung atau sebapak bersama anak/cucu perempuan (dari anak laki-laki)
8.    Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
9.    Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
10. Paman sekandung
11.  Paman sebapak

     k) Anak laki-laki dari paman sebapak, terhijab oleh:
1.      Anak laki-laki
2.     Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3.     Bapak
4.     Kakek dari pihak bapak
5.     Saudara laki-laki kandung
6.     Saudara laki-laki sebapak
7.     Saudara perempuan sekandung atau sebapak bersama anak/cucu
perempuan (dari anak laki-laki)
8.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
9.     Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
10.     Paman sekandung
11.     Paman sebapak
12.     Anak laki-laki dari paman sekandung

:)

0 komentar:

Post a Comment