Monday, September 28, 2015

Selimut Asap Indonesia



Selimut Asap Indonesia

Smoke Blankets Indonesia

   Kebakaran di Indonesia tidak seperti kebanyakan kebakaran lainnya. Kebakaran ini sangat sulit untuk dipadamkan. Api menyala di bawah permukaan tanah untuk waktu yang lama, seringnya selama berbulan-bulan. Biasanya, petugas pemadam kebakaran hanya bisa memadamkannya dengan bantuan hujan selama musim hujan. Dan kebakaran ini menimbulkan asap dan polusi udara yang lebih banyak dibandingkan kebakaran lainnya.


   Akar penyebab masalah ini adalah endapan gambut dalam jumlah besar (campuran tanah-seperti bahan tanaman membusuk sebagian terbentuk di lahan basah-lapisan pantai Kalimantan dan Sumatera).  Kebakaran gambut mulai menjadi penyebab kebakaran di Indonesia setiap tahun karena banyak petani terlibat dalam kegiatan "Buka Lahan Pertanian" dengan  teknik  Slash and Burn Agriculture yang sering menggunakan pembakaran hutan  untuk membersihkan jalan bagi tanaman atau hewan merumput. Di Indonesia, tujuannya adalah  untuk membuat ruang penanaman baru untuk komoditi kelapa sawit dan akasia.

  "Kebanyakan pembakaran terjadi saat seusai masa panen dimana lahan sedang tidak ditanami tanaman, lahan gambut yang sudah dibersihkan (dibakar) dan masuk ke bawah tanah menuju sumber bahan bakar yang tidak terbatas," jelas David Gaveau dari Center for International Forestry Research.

Smoke Blankets Indonesia

   Seperti yang terlihat pada 24 September dalam gambar yang didapatkan oleh Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) di satelit Terra NASA. Garis merah menunjukkan hot spot di mana sensor  mendeteksi  suhu permukaan yang luar biasa tinggi terkait dengan kebakaran. Asap gelap tebal melayang di atas kedua pulau dan memicu peringatan kualitas udara dan peringatan kesehatan di Indonesia dan negara-negara tetangga. Visibilitas telah menurun secara drastis.

   Para ilmuwan yang memantau kebakaran ini khawatir bahwa masalah akan menjadi lebih buruk sebelum menjadi lebih baik. Itu karena dampak El Niño yang kuat, seperti yang saat ini melanda Pasifik, memperpanjang musim kemarau dan mengurangi jumlah curah hujan. Selama El Niño pada tahun 1997, kurangnya hujan menyebabkan kebakaran yang  membakar di luar kendali dalam skala yang luas, melepaskan rekor polusi udara dan gas rumah kaca.


   "Kita berada pada kondisi yang sama dengan tahun-tahun buruk lainnya," kata Robert Field, seorang ilmuwan Universitas Columbia yang berbasis di NASA Goddard Institute for Space Studies. "Kondisi di Singapura dan Sumatera Tenggara diperkirakan hampir sama dengan saat tahun  1997, dengan beberapa stasiun melaporkan rata-rata visibilitas kurang dari 1 kilometer (0,6 mil) selama seminggu. Di Kalimantan, ada laporan visibilitas kurang dari 50 meter (165 ft). "

   Data kedalaman optik aerosol (yang dikumpulkan oleh MODIS) menunjukkan tingkat partikel mirip dengan puncak kebakaran pada tahun 2006, kasus kebakaran besar sebelumnya. Kali ini, bagaimanapun, level partikel telah mencapai tingkat tinggi beberapa minggu sebelumnya. "Jika musim kemarau diperkirakan akan berlangsung lebih lama" kata Field, "ini menunjukkan bahwa 2015 akan menjadi salah satu peristiwa terbesar di antara peristiwa yang paling parah dalam sejarah,"


  Guido van der werf seorang ilmuwan dari Vrije Universiteit Amsterdam  telah memantau jumlah dan ukuran dari kebakaran hutan di Indonesia dengan MODIS. "Ada lebih dan lebih besar lagi kebakaran tahun ini. Kita berada pada kondisi yang lebih buruk setiap tahunnya sejak 2001, ketika pengamatan MODIS mulai dilakukan, "katanya. "Dan kita masih setengah jalan untuk melewati musim kebakaran ini."


   Bersama dengan rekan-rekannya di NASA dan University of California, Irvine, van der Werf telah mengembangkan teknik untuk memperkirakan jumlah jejak gas dan partikel udara dari kebakaran yang menyebarkan banyak polutan berdasarkan pengamatan kebakaran melalui satelit dan tutupan vegetasi. Proyek, yang dikenal sebagai Database Emisi Kebakaran Global ( Global Fire Emissions Database ), menghasilkan estimasi baik secara regional maupun global dari emisi kebakaran berdasarkan data dari tahun 1997 sampai sekarang. Menurut analisis GFED, kebakaran di Indonesia pada tahun 2015 ini telah menghasilkan gas rumah kaca setara dengan sekitar 600 juta ton hingga pada tanggal 22 September 2015, sebuah angka yang menyaingi jumlah satu tahun emisi karbon dari Jerman.


Referensi


NASA image by Adam Voiland (NASA Earth Observatory) and Jeff Schmaltz (LANCE MODIS Rapid Response). Caption by Adam Voiland.


Artikel asli bisa dilihat di sini 

0 komentar:

Post a Comment