Friday, September 25, 2015

Pertemuan Di Galeri Dentsu

Pertemuan di Galeri Dentsu

     Tiga pria berpakaian necis datang ke hotel tempat saya menginap di Tokyo.

“Kemarin anda memberikan ceramah di Galeri Dentsu,” salah seorang dari mereka berkata. “Kebetulan saya datang ke sana, dan saya tiba tepat pada waktu anda mengatakan bahwa tidak ada pertemuan yang terjadi secara kebetulan. Barangkali kami perlu memperkenalkan diri terlebih dahulu.”
     Saya tidak bertanya, bagaimana mereka tahu di mana saya menginap. Orang-orang yang bisa mengatasi kesulitan-kesulitan semacam itu layak mendapatkan rasa hormat kita. Salah seorang pria itu menyodorkan beberapa buah buku yang ditulis dalam kaligrafi Jepang. Penerjemah saya langsung bersemangat. Pria itu ternyata Kazuhito Aida, putra seorang penyair Jepang yang terkenal, yang namanya belum pernah saya dengar.

     Dan juru misteri sinkronisitas inilah yang membukakan pintu bagi saya untuk mengenal, membaca, dan berbagi dengan para pembaca saya, sekelumit karya cemerlang Mitsuo Aida (1924-1991), penyair dan ahli kaligrafi yang puisi-puisinya mengingatkan kita akan pentingnya keluguan hati.


Karena telah menjalani hidupnya sepenuh-penuhnya,
rerumputan yang kering gersang tetap menarik perhatian
orang-orang yang berlalu lalang.

Bunga-bunga sekedar berbunga,
Dan ini yang mereka lakukan sebaik-baiknya.
Bunga lili putih yang mekar tak terlihat di lembah,
Tak butuh menjelaskan dirinya pada siapa-siapa;
Dia hidup hanya demi keindahan.
Namun kata “hanya” itu tak diterima manusia.

Andai tomat-tomat ingin menjadi melon,
Betapa menggelikannya,
Heran sungguh saya melihat,
Begitu banyak orang ingin menjadi apa yang bukan diri mereka;
Apa gunanya menjadikan diri sendiri bahan tertawaan ?

Tak perlu kita selalu berpura-pura tangguh,
Tak guna membuktikan sepanjang waktu bahwa semuanya baik-baik saja,
Usahlah memikirkan apa kata orang,
Menangislah kalau perlu,
Menumpahkan air mata itu baik
(Sebab hanya dengan begitu kita akan bisa tersenyum lagi).

     Kadang-kadang saya menonton acara peresmian terowongan-terowongan dan jembatan-jembatan di televisi. Biasanya banyak selebritaas dan politisi-politisi setempat berdiri berjajar, sementara seorang menteri atau gubernur lokal berdiri di tengah-tengah. Kemudian ada pengguntingan pita, dan setelah orang-orang yang bertanggung jawab atas proyek tersebut kembali ke belakang meja masing-masing, mereka menerima banyak surat berisi pujian-pujian serta kekaguman.

     Orang-orang yang bermandi keringat dan bekerja di proyek itu, yang mengayunkan kapak dan sekop, bekerja membanting tulang dalam terik musim panas, atau menahankan musim dingin yang menggigit demi menyelesaikan pekerjaan tersebut, tidak pernah di sebut-sebut; mereka yang tidak melakukan pekerjaan fisik tampaknya selalu mendapatkan pujian paling banyak.
 
     Saya ingin menjadi orang yang mampu melihat wajah-wajah di balik layar itu, mereka yang tidak mencari ketenaran maupun kejayaan, yang bekerja tanpa banyak ribut untuk menjalani peran yang telah ditetapkan hidup ini bagi mereka.


     Saya ingin bisa melakukannya, sebab hal-hal yang paling hakiki, dan yang membentuk eksistensi kita,  justru tidak pernah menampakkan wajahnya.

Source : Ser Como O Rio Que Flui (Seperti Sungai yang Mengalir) - Paulo Coelho

"Tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan, jalanilah peranmu dalam kehidupan dengan sebaik-baiknya." 

0 komentar:

Post a Comment