Selimut Asap Indonesia Makin Tebal
Asap tebal dari kebakaran gambut di Kalimantan, Indonesia terus meluas. Ketika Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) di satelit Aqua NASA menangkap gambar ini pada tanggal 19 Oktober 2015. Poin-poin merah menunjukkan Hot Spot (Titik Panas a.k.a Titik Api) di mana sensor mendeteksi suhu permukaan bumi yang luar biasa panas terkait dengan kebakaran. Kepulan asap melayang di atas pulau Kalimantan dan memicu peringatan waspada kualitas udara dan peringatan waspada kesehatan di Indonesia dan negara-negara tetangga. Seperti awan cumulus kecil yang terlihat di sepanjang pantai selatan Kalimantan. Gambar di bawah menunjukkan pemandangan yang lebih rinci dari titik panas/titik api yang ada.
Kebakaran yang menjadi
tamu tahunan di Kalimantan setiap bulan September dan Oktober karena ulah
petani yang terlibat dalam sistem "Slash and burn", teknik yang
melibatkan pembakaran hutan hujan untuk mengosongkan area bagi penanaman
tanaman baru atau sebagai lokasi hewan merumput. Di Kalimantan Selatan sendiri,
tujuan pembakaran ini seringkali untuk membuat ruang penanaman baru bagi kelapa
sawit dan akasia.
Banyak dari
kebakaran yang ada terjadi di lahan gambut. Di mana kebakaran gambut ini
cenderung sulit untuk dipadamkan, karena pada umumnya kebakaran lahan gambut
membara di bawah permukaan tanah untuk berbulan-bulan.
Dibandingkan
dengan jenis kebakaran lain, kebakaran gambut melepaskan berbagai polutan
tertentu dalam jumlah yang luar biasa besar. Misalnya, kebakaran gambut
melepaskan tiga kali lebih banyak karbon monoksida dan sepuluh kali lebih
banyak metana dibanding dengan kebakaran savana.
Berdasarkan faktor
emisi yang digunakan oleh ilmuwan Guido
van der Werf Vrije dari Universiteit Amsterdam untuk mengukur jumlah polusi
yang dikeluarkan oleh kebakaran. Kebakaran di Indonesia telah memancarkan sekitar
1,1 miliar ton karbon dioksida sepanjang akhir tahun ini. Dimana jumlah ini
sudah melebihi emisi tahunan rata-rata di Jerman.
Sensor MODIS pada
satelit Terra dan Aqua telah mendeteksi titik api di Sumatera Selatan sejak
awal September. Para ilmuwan yang memantau kebakaran ini berharap kebakaran akan
berhenti saat musim hujan tiba di akhir Oktober nanti. Namun, mereka
mengingatkan, bahwa musim kemarau bisa berlangsung sangat panjang di Indonesia
tahun ini karena dampak El Nino yang
kuat melanda Samudera Pasifik.
Artikel Terkait :
Referensi :
Akagi, R.J. et al (2011) Emission factors for open and
domestic biomass burning for use in atmospheric models.Atmospheric Chemistry and Physics, 11, 4039-4072.
Gaveau, D. et al (2014, May 7) Major atmospheric emissions from peat
fires in Southeast Asia during non-drought years: evidence from the 2013
Sumatran fires. Scientific Reports, (4),
6112.
Motherboard (2015, January 12) How Climate Change is
Fueling the World’s Longest-Burning Fires. Accessed October 19,
2015.
Mashable (2015, October 17) Indonesia’s peat fires
have released more greenhouse gases than Germany does in an entire year. Accessed
October 19, 2015.
The New
York Times (2010, August 20) The Fires Down Below. Accessed
October 19, 2015.
Time (2015, October 8) Watch Eerie Drone Footage
of Indonesia’s Vast Forest Fires. Accessed October 19, 2015.
Van der Werf (2015, October 19) Indonesian fire season progression. Accessed
October 19, 2015.
World Resources Institute (2015, October
8) Indonesia’s Fire
Outbreaks Producing More Daily Emissions than Entire US Economy. Accessed
October 19, 2015.
NASA image Jeff Schmaltz (LANCE MODIS Rapid Response) and Adam Voiland (NASA Earth Observatory). Caption by Adam Voiland.
0 komentar:
Post a Comment