Perempuan Pendiam & Laki-laki yang Tak Peka
Perjumpaan perempuan
yang pendiam dengan laki-laki yang tak peka adalah bencana. Adalah erupsi
gunung berapi. Adalah banjir bandang. Adalah angin puting beliung. Adalah
tsunami. Adalah aku dan kamu.
Aku yang tak
berbakat menerjemahkan keterdiaman. Aku yang terlalu lugu—merasa bahwa semua
baik-baik saja. Aku yang punya keterampilan kurang memadai dalam mengerti apa
yang ada di dalam hati.
Dan kamu yang batu.
Atau patung tanpa ekspresi. Tak bergerak, tak bersuara, bahkan untuk sekedar
berucap ‘aduh’, atau ‘tidak’. Kamu yang diam-diam berairmata. Menangis dalam
sunyi untuk menyembunyikan kesedihan. Menyimpannya sendiri di tempat-tempat
yang tak mungkin kutemui.
Karena aku laki-laki
yang tak peka.
Yang tertawa saat
jiwamu merintih. Yang terus melangkah saat kau kelelahan dan tertinggal jauh di
belakang.
Ah, "laki-laki memang
harus lebih merasa. Sebab perempuan tak bisa dipaksa bersuara".
…
Depok, 14 Juni 2015
"Hatiku selalu berusaha mendengarmu, walau masih belum mahir menerjemahkan bahasa kalbu"
0 komentar:
Post a Comment