FARAIDH (PERBEDAAN WARISAN DAN WASIAT)
l) Cucu perempuan
dari anak laki-laki, terhijab oleh:
1.
Anak laki-laki
2.
Dua anak perempuan atau lebih jika tidak ada cucu
laki-laki dari anak laki-laki
m) Nenek dari
pihak bapak terhijab oleh bapak
n) Nenek dari
pihak ibu terhijab oleh ibu
o) Saudara
perempuan sekandung, terhijab oleh:
1.
Anak laki-laki
2.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3.
Bapak
p)Saudara perempuan sebapak, terhijab oleh:
1.
Anak laki-laki
2.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3.
Bapak
4.
Saudara perempuan kandung dua orang atau lebih, jika
tidak ada saudara laki-laki sebapak
5.
Seorang saudara perempuan bersama anak/cucu perempuan
(dari anak laki-laki).
q) Saudara perempuan seibu, terhijab oleh:
1.
Anak laki-laki
2.
Anak perempuan
3.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki
4.
Cucu perempuan dari anak laki-laki
5.
Bapak
6.
Kakek dari pihak bapak
a. Hikmah Hijab
Sesungguhnya dibalik adanya hijab ada beberapa hikmah yang didapat,
diantaranya adalah:
a)
Memberikan keadilan dalam pembagian warisan yang merujuk
kepada skala prioritas karena ada yang lebih berhak dari yang berhak.
b)
Sebagai solusi pembagian yang efektif.
c)
Menghindarkan dari ketegangan dalam pembagian warisan.
C. Dzawil Furudh &
Ashabah
a.
Defenisi
Dzawil Furudh
artinya mempunyai bagian tertentu. Sedangkan Ashabahmenurut bahasa adalah
“pembela atau penolong”, sedangkan menurut istilah syar’i adalah ahli waris
yang tidak ditentukan bagiannya dengan kadar tertentu.
b.
Ahli Waris
Hanya sebagai Dzawil Furudh
Mereka adalah:
a)
Suami
b)
Istri
c)
Saudara laki-laki seibu
d)
Saudara perempuan seibu
e)
Ibu
f)
Nenek dari pihak bapak
g)
Nenek dari pihak ibu
c.
Ahli Waris
Hanya sebagai Ashabah
Mereka
yang regolong pada kelompok ini adalah:
a)
Anak laki-laki
b)
Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c)
Saudara laki-laki sekandung
d)
Saudara laki-laki sebapak
e)
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
f)
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
g)
Paman sekandung
h)
Paman sebapak
i)
Anak laki-laki paman sekandung
j)
Anak laki-laki paman sebapak
d.
Ahli Waris
Terkadang sebagai Dzawil Furudh dan Ashabah
a)
Anak perempuan
b)
Cucu perempuan dari anak laki-laki
c)
Saudara perempuan kandung
d)
Saudara perempuan sebapak
a.
Ahli Waris
Terkadang sebagai Dzawil Furudh dan Ashabah serta keduanya
a)
Bapak
b)
Kakek dari pihak bapak
b.
Macam-Macam
Ashabah
Macam-macam
ashabah ada 3, yaitu:
a)
Ashabah binafsihi, yaitu menerima sisa harta karena
dirinya sendiri. Mereka adalah semua ahli waris laki-laki kecuali saudara
laki-laki seibu. Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
”Berikanlah ketentuan-ketentuan warisan itu kepada yang berhak, kemudian
sisanya untuk ahli waris laki-laki yang lebih dekat”. (HR. Mutafaq ’alaih)
Contoh, ahli waris
adalah seorang anak laki-laki, ayah, ibu dan suami.
-
Ayah mendapat 1/6 = 2/12
-
Ibu mendapat 1/6= 2/12
-
Suami mendapat ¼= 3/12
-
Total = 7 /12
-
Untuk anak laki-laki= 12/12 – 7/12 = 5/12
b)
Ashabah bil ghairi, yaitu ahli waris yang menerima sisa
harta karena bersamanya dengan ahli waris laki-laki yang setingkat dengannya.
Mereka adalah ahli waris perempuan yang bersamanya ahli waris laki-laki, yaitu:
1.
Anak perempuan, jika bersamanya anak laki-laki
2.
Cucu perempuan jika bersamanya cucu laki-laki
3.
Saudara perempuan kandung, jika bersamanya saudara
laki-laki kandung.
4.
Saudara perempuan sebapak, jika bersamanya saudara
laki-laki sebapak.
Contoh, ahli waris
adalah anak anak laki-laki, anak perempuan, ibu, suami, dan ayah. Bagian
masing-masingnya adalah:
-
Ibu mendapat 1/6 = 2/12
-
Ayah mendapat 1/6 = 2/12
-
Suami mendapat ¼ = 3/12
-
Jumlah = 7/12
-
Sisanya yaitu 12/12-7/12 = 5/12 untuk anak laki-laki dan
perempuan;
-
Untuk anak laki-laki= 2/3x 5/12 = 10/36
-
Untuk anak perempuan 1/3 x 5/12 = 5/36
c)
Ashabah ma’al ghair, yaitu menjadi ashabah karena
bersama-sama dengan ahli waris lain. Orang yang menjadi ashabah ma’al ghair itu
sebenarnya bukan ashabah, tetapi karena bersamanya ada ahli waris yang juga
bukan ashabah, ia dinyatakan sebagai ashabah sedangkan orang yang menyebabkan
menjadi ashabah itu tetap bukan sebagai ashabah.
Ashabah ma’al ghair
khusus berlaku untuk saudara perempuan kandung atau seayah pada saat bersamanya
ada anak perempuan atau cucu perempuan. Anak perempuan/cucu perempuan tersebut menjadi ahli waris furudh sedangkan
saudara perempuan menjadi ashabah. Kasus ini timbul pada saat seseorang
meminta fatwa kepada Ibnu Mas’ud tentang ahli waris yang terdiri dari anak
perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan. Ibnu Mas’ud memutuskan
berdasarkan apa yang dilihatnya dari Nabi SAW yang menyelesaikan kasus yang
sama, yakni:
§ Anak perempuan
= ½ bagian
§ Cucu perempuan
= 1/6
§ Dan sisanya
untuk saudara perempuan.
Hukum ini diikuti oleh
jumhur ulama, tetapi ulama Zhahiri tidak beramal pada riwayat Ibnu Mas’ud
tersebut sehingga tidak ada baginya ashabah ma’al ghair.
D. Pelaksanaan Pembagian Warisan
*.
Al-aul
Al-aul artinya
bertambah. Dalam ilmu faraidh, aul artinya bagian yang harus diterima ahli
waris lebih banyak dari asal masalahnya, sehingga asal masalahnya harus
ditambah/ diubah.
Contoh:
Suami
= ½ x 6 = 3
2 saudar (pr) kandung = 2/3 x
6 = 4
Jumlah bagian
= 7
Asal masalah 6 sedangkan jumlah bagian 7. Agar sebanding, maka asal
masalah harus dinaikkan menjadi 7, sehingga penyelesaiannya:
Suami = 3/7 x harta
warisan = ........
2
saudara (pr) kandunga = 4/7 x harta
warisan = ........
*.
Ar-Radd
(ar-raddu)
Ar-Radd yaitu
”mengembalikan”. menurut istilah Faraidh adalah ”membagi sisa harta warisan
kepada ahli waris menurut pembagian masing-masing setelah menerima bagiannya.”
Ar-Radd dilakukan
karena setelah harta diperhitungkan untuk ahli waris, ternyata masih ada sisa
harta. Sedangkan ahli waris tidak ada ashabah. Maka sisa harta dikembalikan
kepada ahli waris yang ada.
contoh :
-
Anak perempuan
= ½x 6 = 3
-
Ibu = 1/6 x 6 = 1
-
Jumlah = 4
-
Asal masalah (KPT) : 6, sedangkan jumlah bagian 4. Maka
penyelesaiannya adalah:
-
Anak perempuan =
¾ x harta warisan = .......
-
Ibu = ¼ x harta
warisan = .......
Jika jumlah Harta peninggalan: Rp. 45.000.000
Istri ¼ x 12 =
3
Ibu
1/6 x 12 = 2
2 saudara (pr) kandung 2/3 x 12 = 8
Seorang saudara (pr) seibu 1/6 x 12 = 2
Jumlah bagian 15
Asal
masalahnya: 12, sedangkan jumlah bagian 15. maka penyelesaiannya
adalah:
Istri
3/15 x 45.000.000 = 9.000.000
Ibu
2/15 x 45.000.000 = 6.000.000
2 saudara (pr) kandung 8/15 x 45.000.000 = 24.000.000
Seorang saudara (pr) seibu 2/15 x 45.000.000 = 6.000.000
Jumlah bagian
= 45.000.000
*. Gharawain
Yang dimaksud
dengan gharawain adalah dua yang terang, yaitu dua masalah yang terang cara
penyelesaiannya. Dua masalah tersebut adalah:
a)
jika
ahli warisnya suami, ibu dan bapak.
b) jika ahli warisnya istri, ibu, dan bapak
Contoh
gharawain:
Jumlah harta peninggalan: Rp. 30.000.000.
Suami : ½ x 30.000.000 = 15.000.000,-
Sisa : Rp. 15.000.000,-
Ibu : 1/3 x 15.000.000 = 5.000.000
Bapak ashabah : 10.000.000,-
*. Musyarakah
Yang
dikatakan dengan musyarakah adalah diserikatkan, yaitu ahli waris yang dalam
perhitungan mawaris semestinya memperoleh warisan, tetapi tidak memperolehnya,
maka disyarikatkan kepada ahli waris yang memperoleh bagian. Ini hanya akan
terjadi jika ahli waris terdiri dari:
Jumlah harta peninggalan: Rp. 30.000.000.
Suami : ½ x 30.000.000 = 15.000.000,-
Sisa : Rp. 15.000.000,-
Ibu : 1/3 x 15.000.000 = 5.000.000
Bapak ashabah : 10.000.000,-
*. Akdariyah
Akdariyah
adalah mengeruhkan atau menyusahkan, yaitu kakek menyusahkan saudara perempuan
dalam pembagian warisan. Ini terjadi jika ahli waris terdiri: suami, ibu,
saudara perempuan kandung/ sebapak, dan kakek.
Contohnya:
Suami ½ = 3/6 = 3
Ibu 1/3 = 2/6 = 2
Sdr pr ½ = 3/6 = 3
Kakek = 1/6 = 1/6 =1
Asal masalah 6 dan dapat diselesaikan dengan aul= 9
Menurut:
a)
Abu Bakar ra. Sdr Pr terhijan Hirman, sedangkan kakek
menjadi ashabah.
b)
Umar bin Khatab dan ibnu Mas’ud, bagian ibu dikurangi
dari 1/3 menjadi 1/6, sehingga ada
kesamaan dengan kakek.
c)
Zaid bin Tsabit, adalah dengan menghimpun bagian sdr
perempuan bersama kakek kemudian dibagi dengan ketentuan prinsip bahwa
laki-laki 2 bagian lebih besar dari perempuan (2:1).
a. Bagian Anak dalam Kandungan
Beberapa
masalah yang muncul seputar kasus anak yang masih dalam kandungan ibunya,
ialah:
a)
Apakah janin dalam kandungan ada hubungan kekerabatan
yang sah dengan yang meninggal. Karenanya dibutuhkan tenggang waktu untuk bisa
memastikannya dengan cara menghitung masa/usia kandungan dengan waktu akad
nikah. Jika hitungan waktunya lebih tua usia kandungan daripada usia
pernikahan, maka sang bayi tidak berhak memperoleh warisan.
b)
Belum bisa dipastikan jenis kelamin dan jumlah bayi yang
dikandung.
c)
Belum bisa dipastikan apakah bayi yang akan dilahirkan
dalam hidup/ selamat atau mati.
Jika warisan
dibagikan akan ada kungkinan permasalahan yang terjadi. Misalnya ada yang
terhijab nuqshan maupun hirman, atau melebihi dari apa yang diperkirakan jika
bayi meninggal.
Bayi yang
lahir dengan selamat memiliki hak waris dari ayahnya yang meninggal. Rasulullah
SAW bersabda:
Artinya:
Jika anak yang dilahirkan berteriak, maka ia diberi
warisan”. (HR. Ashab Al-Sunan).
Artinya:
”Bayi dalam
kandungan tidak berhak mewarisi sehingga berteriak (HR. Ahmad).
Solusi yang
dapat dilakukan adalah:
a)
Para ahli waris mengambil bagian dengan jumlah paling
minimal dari kemungkinan yang bisa terjadi. Kecuali bagi ahli waris yang
terhijam hirman karena kelahiran bayi tersebut.
b)
Apabila harta masih dapat dijaga dan pembagian warisan
tersebut belum mendesak, maka pembagiannya ditunda hingga bayi lahir.
b.
Bagian Banci
Banci atau
khuntsa adalah orang yang jenis kelaminnya meragukan, apakah laki-laki atau
perempuan. Dalam bahsan ini ada beberapa jenis banci, yaitu:
a)
Orang yang memiliki alat kelamin ganda, yaitu
laki-laki dan perempuan.
b)
Orang yang sama sekali tidak memiliki alat kelamin, tetapi hanya
memiliki lubang kencing.
c)
Orang yang berperangai laki-laki padahal jenis kelamin perempuan.
d)
Orang yang berperangai perempuan padahal jenis kelamin
laki-laki.
Penentuan
warisan bagi banci, adalah dengan memperhatikan terlebih dahulu jenis golongannya,
yaitu:
a)
Khuntsa wadhih, yaitu khuntsa yang sudah jelas kelaminnya
laki-laki maupun perempuan.
b)
Khuntsa musykil, yaitu khuntsa yang belum ditetapkan sebagai
laki-laki maupun perempuan.
Pembagian
warisan pada khuntsa wadhih tidak ada masalah, karena sudah jelas dihukumkan
laki-laki atau perempuan. Sedangkan untuk khuntsa musykil, terdapat perbedaan
pendapat, antara lain:
a)
Menurut Abu Hanifah, Abu yusuf dan Kuhw mesir, adalah
memberikan bagian
terkecil dari dua perkiraan laki-laki atau perempuan. Sisanya diberikan kepada
ahli waris yang lain.
b)
Menurut Syafi’iyah, Abu Daud, Abu Tsur dan Ibnu Jaiz,
adalah
memberikan bagian
terkecil kepada semua ahli waris, termasuk khuntsa. Sisanya dimauqufkan
sampai ada kejelasan lebih lanjut atau diserahkan pada hasil kesepakatan
keluarga.
c)
Mazhab Maliki, Syiah Zaidiyah dan imamiyah berpendapat,
yaitu
dengan memberikan
bagian khuntsa separuh dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan.
c.
Bagian Orang
Hilang
Yang dikatakan
hilang di sini adalah orang yan tidak diketahui lagi keberadaannya dalam jangka
waktu yang relatif lama. Tidak diketahui beritanya, mengenai tempat tinggalnya,
dan keadaannya (hidup atau meninggal).
Orang yang
hilang tersebut sebagai muwarits maupun ahli waris, maka pembagiannya dapat
dilakukan dengan cara berikut:
Jika
kedudukannya sebagai muwarits.
a)
Harta yang ia miliki sebaiknya ditahan/disimpan terlebih
dahulu sampai didapatkan kepastian keberadaan maupun keadaannya.
b)
Ditunggu hingga batas usia manusia pada umumnya.
c)
Menurut Abdul Hakam, ditunggu sampai batas usia lebih
kurang 70 tahun.
Jika kedudukannya
sebagai ahli waris, maka harta warisan dibagikan, dan bagi dirinya diberikan
bagiannya sebagaimana mestinya. Apabila
ia masih hidup dan datang kembali, maka
bagiannya itu diserahkan kepadanya. Tapi, jika ternyata ia sudah meninggal,
maka bagiannya tersebut diserahkan kepada ahli waris lain yang berhak.
E. Wasiat
a.
Defenisi
Wasiat Menurut bahasa adalah “pesan” , sedangkan
dalam istilah syara’ artinya: pesan terhadap sesuatu yang baik, yang harus dilaksanakan
atau dijalankan sesudah seseorang meninggal dunia.
b.Dasar
Hukum
Dasar hukumnya
adalah: QS. Al-Baqarah: 180
yang Artinya:
“diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[112], (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Memperhatikan
dari segi cara dan obyek, maka hukum berwasiat dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a)
Wajib, jika berhubungan dengan hak Allah SWT, seperti
zakat, fidyah, puasa, dan sebagainya yang merupakan hutang yang wajib
dibayarkan.
Beberapa ulama seperti
Qatadah, Ibnu Hazm, Taus, Ibnu Musayyab, Ishaq bin Rahawaih berpendapat bahwa
wasiat hukumnya wajib. Sebagaimana perintah-Nya dalam QS. Al-Baqarah: 180,
terutama bagi kerabat dekat yang tidak memperoleh warisan.
b) Sunnah,
apabila berwasiat kepada selain kerbat dekat dengan tujuan kemaslahatan dan mengharapkan
ridha Allah SWT. Pendapat ini dikuatkan oleh Jumhur Ulama termasuk Mazhab
Maliiki dan Hambali.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu
‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍلَهُ
شَيْءٌ يُوصِي فِيهِيَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ
إِلَّاوَوَصِيَّتُهُ
مَكْتُوبَةٌ
عِنْدَهُ
عِنْدَهُ
“Tidaklah seseorang mewasiatkan suatu hak
untuk seorang muslim, lalu wasiatnya belum ditunaikan hingga dua malam, kecuali
wasiatnya itu diwajibkan di sisinya.” (HR. Al-Bukhari no. 2738 dan Muslim no. 1627)
Maksud hadits tersebut
adalah agar wasiat yang disampaikan secara lisan segera dicatat atau disaksikan
di depan orang lain.
1.
Makruh, jika hartanya sedikit tetapi ahli warisnya
banyak, sedangkan keadaan mereka sangat mmemerlukan harta warisan sebagai
penunjang hidupnya, atau biaya untuk melanjutkan sekolahnya.
2.
Haram, apabila harta yang diwasiatkan untuk tujuan yang
dilarang oleh agama. Misalnya mewasiatkan agar membangun tempat perjudian atau
tempat maksiat.
a. Rukun dan Syarat Wasiat
Rukun wasiat adalah:
a)
Mushi (pewasiat), syaratnya adalah:
1.
baligh
2.
berakal sehat
3.
atas kehendak sendiri
b)
Musha lahu (penerima wasiat)
1.
Orangnya benar-benar ada (walaupun tidak hadir saat
diberi wasiat)
2.
Tidak menolak diberi wasiat.
3.
Bukan pembunuh pewasiat.
4.
Bukan ahli waris, kecuali atas persetujuan ahli waris
lain.
Rasulullah bersabda:
Artinya:
Dari Abi Umamah Al-Bahili ra. Berkata: Aku mendengar
Rasulullah saw.bersabda: ”Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada
orang yang punya hak, maka tidak ada
wasiat bagi ahli waris”. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Artinya:
”Tidak boleh berwasiat kepada orang yang menerima warisan
kecuali ahli-ahli warisnya membolehkannya”. (HR. Daru-Quthni).
c)
Musha bihi( benda yang diwasiatkan), syaratnya adalah:
1.
jumlah wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan.
2.
Dapat berpindah milik dari seseorang kepada orang lain.
3.
Benda yang diwasiatkan ada pada saat diwasiatkan.
4.
Harus mengandung manfaat.
5.
Tidak bertentangan dengan hukum syara’. Misalnya:
berwasiat agar membangun tempat maksiat.
d)
Sighat wasiat (ijab qabul), syaratnya adalah:
1.
kalimat yang digunakan harus bisa dipahami atau
dimengerti, baik dengan lisan maupun tulisan.
2.
Penerimaan wasiat diucapkan setelah orang yang berwasiat
meninggal dunia.
b.
Permasalahan
dalam Wasiat
Ada beberapa
bentuk permasalahan yang seringkali dijumpai dalam wasiat. Diantaranya adalah
masalah kadar wasiat, dan wasiat bagi orang yang tidak memiliki ahli waris.
a) Kadar Wasiat
Jumlah terbanyak
wasiat adalah 1/3 dari harta yang dipunyai oleh orang berwasiat setelah
dikurangi jumlah hutang apabila ia berhutang. Artinya, pembagian wasiat baru
bisa dilakukan setelah harta peninggalan si pewasiat telah dikeluarkan untuk
pembayaran hutangnya. Misalnya si pewasiat meninggalkan harta sebesar Rp.
100.000.000, dan ia memiliki hutang Rp.50.000.000, maka Rp.100.000.000 – Rp.
50.000.000 = Rp. 50.000.000. Sehingga uang wasiat yang dikeluarkan adalah 1/3
dari Rp. 50.000.000 tersebut.
Rasulullah bersabda:
Artinya:
Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: ”Wasiat itu
sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah banyak”. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Dengan berdasarkan
hadits di atas, kebanyakan ulama menetapkan bahwa sebaiknya kadar wasiat
tersebut kurang dari 1/3 bagian dari harta yang dimiliki, terutama sekali jika
para ahli waris adalah mereka yang sangat membutuhkan harta warisan tersebut.
Ketika Sa’ad bin Abi
Waqash sakit, ia bertanya kepada Nabi saw., ”Apakah aku boleh berwasiat dua
pertiga atau setengah dari harta yang kumiliki?” Rasulullah menjawab:
Artinya:
”Tidak”. Kemudian bertanya agi, ”(Bagaimana kalau) sepertiga?” Nabi menjawab: ”(Ya) sepertiga.
Sepertiga itu-pun sudah banyak. Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli waris dalam
keadaan cukup itu lebih baik daripada engkau meninggalakan dalam keadaan papa
dan harus meminta-minta kepada orang lain”. (HR. Bukhari dan
Muslim).
b) Wasiat bagi Orang yang Tidak Mempunyai Ahli Waris
Para ulama sepakat
bahwa batas maksimal harta yang diwasiatkan adalah sepertiga bagian harta yang
ditinggalkan muwarits. Jika ada lebih dari itu hendaklah atas persetujuan dan
kesepakatan ahli waris dan tidak menimbulkan mudharat bagi ahli waris lainnya.
Bahkan ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa wasiat itu tidak boleh lebih dari sepertiga
dari harta yang dimiliki mushi, walaupun telah ada persetujuan dari ahli waris.
Sedangkan kadar wasiat
bagi orang yang tidak memiliki ahli waris, para ulama berbeda pendapat, antara
lain sebagai berikut:
1. Bagi orang yang tidak memiliki ahli waris tidak boleh berwasiat lebih
dari sepertiga bagian dari harta yang dimilikinya. Karena beberapa hadits
shahih nabi saw. tidak menjelaskan pengecualian kepada orang yang tidak
mempunyai ahli waris.
2. Sementara sebagian berpendapat, seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu Ubadah, masruq
dan diikuti oleh para ulama Hanafiah,
bahwa orang yang tidak memiliki ahli waris boleh melebihkan jumlah
wasiatnya dari sepertiga hartanya. Karena hadits-hadits Nabi saw. yang
menjelaskan tentang pembatasan jumlah (yaitu 1/3) disebabkan ada ahli waris
lain yang ditinggalkan dalam keadaan membutuhkan. Sehingga pembatasan jumlah tersebut tidak berlaku pada kasus seseorang yang
tidak memiliki ahli waris.
Perbedaan
Wasiat dengan Warisan
Perbedaannya
antara lain adalah:
a)
Penerima wasiat tidak boleh ahli waris.
b)
Bagian wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 dari harta
peninggalan setelah dikurangi hutang. Sedangkan ahli waris bisa melebihi 1/3
dari harta waris.
c)
Wasiat dibuat semasa pewaris masih hidup. Sedangkan
warisan hanya bisa ditentukan pasca meninggalnya pewaris.
0 komentar:
Post a Comment