Ja(t)uh
Kamu
pasti takut sendiri
Aku
juga.
Kemarin
waktu kau bilang kau akan pergi jauh,
Aku
makin takut.
Ada
semacam perih dalam hati yang membuat mataku dipaksa berair,
Pipiku
becek.
Sayang,
air mataku, sederas dan sebanyak apapun ia mengalir,
Tampaknya
tak punya daya menahanmu untuk tetap disini.
Maka
detik itu aku pura-pura tersenyum,
Detik selanjutnya
aku menyadari bahwa tersenyum sama sekali tak melegakan.
Bila
kau mengerti.
Dalam
senyum yang kubuat-buat itu sebenarnya hatiku berdo’a,
Belum
sempat kudengar jawaban dari-Nya, lantas kususul dengan do’a-do’a senada :
“Tak
bisakah waktu Kau putar lebih cepat sampai ia kembali ?”
“Tak
bisakah untuk kali ini saja, anugerahi hambamu ini kemampuan untuk memperbudak
waktu ?”
Entahlah,
semoga saja dengan semakin banyak do’a yang kuucap, Tuhan semakin ramah. Sebab
punya banyak pilihan untuk dikabulkan.
Menjauh
untuk menjaga.
Kau
tahu, sejujurnya aku benci konsep itu.
Terlalu menyedihkan, Seperti perumpamaan klasik tentang matahari yang mencintai bumi dengan jaraknya.
Terlalu menyedihkan, Seperti perumpamaan klasik tentang matahari yang mencintai bumi dengan jaraknya.
Terdengar
tegar dan dewasa memang, tapi tetap saja menyedihkan.
Aku
mulai mengira barangkali analogi itu Cuma pembenaran teoritis atas tragedi
ketidakmampuan mencintai dengan alasan apapun.
Atau
boleh jadi semacam legitimasi bagi sebuah kerapuhan jiwa.
Apa
yang bisa diharapkan, dari sebuah cinta yang bahkan oleh himpitan jarak saja ia
jadi tak berdaya ?
Apa
yang bisa dibanggakan, dari cinta yang dengan segala macam pembenarannya
menyerah pada sebuah keterpisahan, pasrah pada ketakberdayaan, sementara
seluruh penjuru dunia memuja kedigdayaannya dengan kalimat Amour Vincit Omnia ?
Kalau
saja matahari, memang mencintai bumi,
Dengan
abadinya keberjarakan yang ditakdirkan pada mereka, mestinya telah redam bara
yang ia punya. Terendam oleh air matanya sendiri.
Seperti
Qais yang cintanya tak pernah sampai pada Laila, tak ada yang bisa ia lakukan
kecuali menangis. Lalu majnun lah ia, sebelum akhirnya mati dalam sebuah
keterpurukan.
Apakah
selalu begitu, benturan antara rasa dengan realitas yang beda rupa selalu
mencipta luka.
Menjauh
untuk menjaga.
Sampai
pada baris tulisanku yang kesekian ini,
aku masih belum bisa menerima konsep itu.
Seperti
konsep “Rela Menunggu Untuk Kebahagiaan”
lagi-lagi, entahlah.
Barangkali
karena aku terlalu merindukanmu, hingga bahkan aku tak rela menunggu, terlebih
lagi membuatmu menunggu.
"Teruntuk Mereka yang Jauh, Kita Hanya Percaya Bahwa Jarak Ini Akan Segera Luruh"-Prosa dalam buku Azhar Nurun Ala "Ja(t)uh"
0 komentar:
Post a Comment