Selimut Asap Indonesia
Kebakaran di Indonesia tidak seperti kebanyakan kebakaran lainnya.
Kebakaran ini sangat sulit untuk dipadamkan. Api menyala di bawah permukaan
tanah untuk waktu yang lama, seringnya selama berbulan-bulan. Biasanya, petugas
pemadam kebakaran hanya bisa memadamkannya dengan bantuan hujan selama musim
hujan. Dan kebakaran ini menimbulkan asap dan polusi udara yang lebih banyak
dibandingkan kebakaran lainnya.
Akar penyebab masalah ini adalah endapan gambut dalam jumlah besar
(campuran tanah-seperti bahan tanaman membusuk sebagian terbentuk di lahan
basah-lapisan pantai Kalimantan dan Sumatera).
Kebakaran gambut mulai menjadi penyebab kebakaran di Indonesia setiap
tahun karena banyak petani terlibat dalam kegiatan "Buka Lahan Pertanian"
dengan teknik Slash and Burn Agriculture yang
sering menggunakan pembakaran hutan
untuk membersihkan jalan bagi tanaman atau hewan merumput. Di Indonesia,
tujuannya adalah untuk membuat ruang penanaman
baru untuk komoditi kelapa sawit dan akasia.
"Kebanyakan pembakaran terjadi saat seusai masa panen dimana
lahan sedang tidak ditanami tanaman, lahan gambut yang sudah dibersihkan
(dibakar) dan masuk ke bawah tanah menuju sumber bahan bakar yang tidak
terbatas," jelas David Gaveau dari Center
for International Forestry Research.
Seperti yang terlihat pada 24 September dalam gambar yang didapatkan
oleh Moderate
Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) di satelit Terra NASA. Garis merah menunjukkan hot spot di
mana sensor mendeteksi suhu permukaan yang luar biasa tinggi terkait
dengan kebakaran. Asap gelap tebal melayang di atas kedua pulau dan memicu
peringatan kualitas udara dan peringatan kesehatan di Indonesia dan
negara-negara tetangga. Visibilitas telah menurun secara drastis.
Para ilmuwan yang memantau kebakaran ini khawatir bahwa masalah akan
menjadi lebih buruk sebelum menjadi lebih baik. Itu karena dampak El
Niño yang kuat, seperti yang saat ini melanda Pasifik, memperpanjang
musim kemarau dan mengurangi jumlah curah hujan. Selama El Niño pada tahun
1997, kurangnya hujan menyebabkan kebakaran yang membakar di luar kendali dalam skala yang
luas, melepaskan rekor polusi udara dan gas rumah kaca.
"Kita berada pada kondisi yang sama dengan tahun-tahun buruk
lainnya," kata Robert Field, seorang ilmuwan Universitas Columbia yang
berbasis di NASA Goddard Institute for Space Studies. "Kondisi di Singapura
dan Sumatera Tenggara diperkirakan hampir sama dengan saat tahun 1997, dengan beberapa stasiun melaporkan
rata-rata visibilitas kurang dari 1 kilometer (0,6 mil) selama seminggu. Di
Kalimantan, ada laporan visibilitas kurang dari 50 meter (165 ft). "
Data kedalaman optik aerosol (yang dikumpulkan oleh MODIS) menunjukkan
tingkat partikel mirip dengan puncak kebakaran pada tahun 2006, kasus kebakaran
besar sebelumnya. Kali ini, bagaimanapun, level partikel telah mencapai tingkat
tinggi beberapa minggu sebelumnya. "Jika musim kemarau diperkirakan akan
berlangsung lebih lama" kata Field, "ini menunjukkan bahwa 2015 akan
menjadi salah satu peristiwa terbesar di antara peristiwa yang paling parah
dalam sejarah,"
Guido van der werf seorang ilmuwan dari Vrije Universiteit Amsterdam
telah memantau jumlah dan ukuran dari
kebakaran hutan di Indonesia dengan MODIS. "Ada lebih dan lebih besar lagi
kebakaran tahun ini. Kita berada pada kondisi yang lebih buruk setiap tahunnya
sejak 2001, ketika pengamatan MODIS mulai dilakukan, "katanya. "Dan
kita masih setengah jalan untuk melewati musim kebakaran ini."
Bersama dengan rekan-rekannya di NASA dan University of California,
Irvine, van der Werf telah mengembangkan teknik untuk memperkirakan jumlah
jejak gas dan partikel udara dari kebakaran yang menyebarkan banyak polutan berdasarkan
pengamatan kebakaran melalui satelit dan tutupan vegetasi. Proyek, yang dikenal
sebagai Database Emisi Kebakaran Global ( Global Fire Emissions Database ),
menghasilkan estimasi baik secara regional maupun global dari emisi kebakaran
berdasarkan data dari tahun 1997 sampai sekarang. Menurut analisis GFED, kebakaran di Indonesia pada tahun
2015 ini telah menghasilkan gas rumah kaca setara dengan sekitar 600 juta ton
hingga pada tanggal 22 September 2015, sebuah angka yang menyaingi jumlah satu
tahun emisi karbon dari Jerman.
Referensi
- The Conversation (2015, June 16) Indonesia
at risk from huge fires because of El Nino. Accessed September
24, 2015.
- Field, R. (2009, February 22) Human amplification of
drought-induced biomass burning in Indonesia since 1960.Nature
Geoscience, 6112.
- Gaveau, D. (2014, May 7) Major atmospheric emissions
from peat fires in Southeast Asia during non-drought years: evidence from
the 2013 Sumatran fires. Scientific Reports, 6112.
- International Business Times (2015,
September 24) Singapore
Blanketed In Haze Blown In From Indonesia, Conditions Expected To Worsen. Accessed
September 24, 2015.
- Turetsky et al, (2015) Global vulnerability of
peatlands to fire and carbon loss. Nature Geoscience, 2,
185-189.
- Straits Times (2015, September 24) Indonesia
declares emergency in haze-hit province. Accessed September 24,
2015.
- Wildfire Magazine (2014, May 7) The
long slow burn of smoldering peat mega-fires. Accessed September
24, 2015.
- World Resources Institute (2014,
April 3) Preventing
Forest Fires in Indonesia: Focus on Riau Province, Peatland, and Illegal
Burning. Accessed September 24, 2015.
NASA image by
Adam Voiland (NASA Earth Observatory) and Jeff Schmaltz (LANCE
MODIS Rapid Response). Caption by Adam Voiland.
Artikel asli bisa dilihat di sini
0 komentar:
Post a Comment