Pertemuan di Galeri Dentsu
Tiga
pria berpakaian necis datang ke hotel tempat saya menginap di Tokyo.
“Kemarin anda memberikan ceramah di Galeri
Dentsu,” salah seorang dari mereka berkata. “Kebetulan saya datang ke sana, dan
saya tiba tepat pada waktu anda mengatakan bahwa tidak ada pertemuan yang
terjadi secara kebetulan. Barangkali kami perlu memperkenalkan diri terlebih
dahulu.”
Saya
tidak bertanya, bagaimana mereka tahu di mana saya menginap. Orang-orang yang
bisa mengatasi kesulitan-kesulitan semacam itu layak mendapatkan rasa hormat
kita. Salah seorang pria itu menyodorkan beberapa buah buku yang ditulis dalam
kaligrafi Jepang. Penerjemah saya langsung bersemangat. Pria itu ternyata
Kazuhito Aida, putra seorang penyair Jepang yang terkenal, yang namanya belum
pernah saya dengar.
Dan
juru misteri sinkronisitas inilah yang membukakan pintu bagi saya untuk
mengenal, membaca, dan berbagi dengan para pembaca saya, sekelumit karya
cemerlang Mitsuo Aida (1924-1991), penyair dan ahli kaligrafi yang
puisi-puisinya mengingatkan kita akan pentingnya keluguan hati.
Karena telah menjalani hidupnya sepenuh-penuhnya,
rerumputan yang kering gersang tetap menarik perhatian
orang-orang yang berlalu lalang.
Bunga-bunga sekedar berbunga,
Bunga-bunga sekedar berbunga,
Dan ini yang mereka lakukan sebaik-baiknya.
Bunga lili putih yang mekar tak terlihat di lembah,
Tak butuh menjelaskan dirinya pada siapa-siapa;
Tak butuh menjelaskan dirinya pada siapa-siapa;
Dia hidup hanya demi keindahan.
Namun kata “hanya” itu tak diterima manusia.
Andai tomat-tomat ingin menjadi melon,
Betapa menggelikannya,
Heran sungguh saya melihat,
Begitu banyak orang ingin menjadi apa yang bukan diri mereka;
Apa gunanya menjadikan diri sendiri bahan tertawaan ?
Tak perlu kita selalu berpura-pura tangguh,
Tak guna membuktikan sepanjang waktu bahwa semuanya baik-baik saja,
Usahlah memikirkan apa kata orang,
Menangislah kalau perlu,
Menumpahkan air mata itu baik
(Sebab hanya dengan begitu kita akan bisa tersenyum lagi).
Kadang-kadang
saya menonton acara peresmian terowongan-terowongan dan jembatan-jembatan di
televisi. Biasanya banyak selebritaas dan politisi-politisi setempat berdiri
berjajar, sementara seorang menteri atau gubernur lokal berdiri di
tengah-tengah. Kemudian ada pengguntingan pita, dan setelah orang-orang yang
bertanggung jawab atas proyek tersebut kembali ke belakang meja masing-masing,
mereka menerima banyak surat berisi pujian-pujian serta kekaguman.
Orang-orang
yang bermandi keringat dan bekerja di proyek itu, yang mengayunkan kapak dan
sekop, bekerja membanting tulang dalam terik musim panas, atau menahankan musim
dingin yang menggigit demi menyelesaikan pekerjaan tersebut, tidak pernah di
sebut-sebut; mereka yang tidak melakukan pekerjaan fisik tampaknya selalu
mendapatkan pujian paling banyak.
Saya
ingin menjadi orang yang mampu melihat wajah-wajah di balik layar itu, mereka
yang tidak mencari ketenaran maupun kejayaan, yang bekerja tanpa banyak ribut
untuk menjalani peran yang telah ditetapkan hidup ini bagi mereka.
Saya
ingin bisa melakukannya, sebab hal-hal yang paling hakiki, dan yang membentuk
eksistensi kita, justru tidak pernah
menampakkan wajahnya.
Source : Ser Como O Rio Que Flui (Seperti Sungai yang Mengalir) - Paulo Coelho
"Tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan, jalanilah peranmu dalam kehidupan dengan sebaik-baiknya."
0 komentar:
Post a Comment